8:54 PM
Berikut ini kami akan jelaskan sejarah Al-qur'an secara sederhana, kami sajikan bagi kaum muslimin dan muslimat serta seluruh Ummat manusia, agar mengetahui sejarah Al-quran diturunkan. pejelasan yang kami sajikan ini hanya penjelasan sederhana dari sekian banyak penjelasan-penjelasan lain yang lebih lengkap. dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi para pengunjung. besar harapan kami agar pengunjung tidak menjadikan artikel ini sebagai acuan secara mutlak melainkan untuk dapat berguru kepada para Ulama sebagai pewaris nabi yang akan menjelaskan sejarah serta Definisi alquran secara lebih lengkap.
Kami mulai menerangkan sejarah Al-quran dari beberapa kutipan Al-quran Serta hadits sebagai dasar dari bagaimana proses serta Kapan Waktu Al-quran diturunkan Kepada Rasulullah SAW.
Dalam Surah
An Najm ayat ke 7 s/d 11 yang artinya :
-sedang dia berada di ufuk yang tinggi (53:7 )
-Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi (53:8)
-maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (53:9)
-Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (53:10)
-Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (53:11)
dijelaskan juga dalam Al-quran Surah At takwir ayat ke 23 yg artinya :
-Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang (81:23)
Serta dijelaskan Juga Oleh Hadits Shaih Riwayat Bukhari :
Aisyah r.a. berkata, "[Adalah 6/871] yang pertama (dari wahyu) kepada Rasulullah saw. adalah mimpi yang baik di dalam tidur. Beliau tidak pernah bermimpi melainkan akan menjadi kenyataan seperti merekahnya cahaya subuh. Kemudian beliau gemar bersunyi. Beliau sering bersunyi di Gua Hira. Beliau beribadah di sana,yakni beribadah beberapa malam sebelum rindu kepada keluarga beliau, dan mengambil bekal untuk itu.Kemudian beliau pulang kepada Khadijah.Beliau mengambil bekal seperti biasanya sehingga datanglah kepadanya (dalam riwayat lain disebutkan: maka datanglah kepadanya) kebenaran. Ketika beliau ada di Gua Hira, datanglah malaikat (dalam nomor 8/67) seraya berkata, 'Bacalah!' Beliau berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca. Ia mengambil dan mendekap saya sehingga saya lelah. Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca:' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak bisa membaca' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang ketiga kalinya, kemudian ia melepaskan saya. Lalu ia membacakan, "Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal insaana min'alaq. Iqra' warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam. 'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Lalu Rasulullah saw. pulang dengan membawa ayat itu dengan perasaan hati yang goncang (dalam satu riwayat: dengan tubuh gemetar). Lalu, beliau masuk menemui Khadijah binti Khuwailid, lantas beliau bersabda, 'Selimutilah saya, selimutilah saya!' Maka, mereka menyelimuti beliau sehingga keterkejutan beliau hilang. Beliau bersabda dan menceritakan kisah itu kepada Khadijah, 'Sungguh saya takut atas diriku.' Lalu Khadijah berkata kepada beliau, 'Jangan takut (bergembiralah, maka) demi Allah, Allah tidak akan menyusahkan engkau selamanya. (Maka demi Allah), sesungguhnya engkau suka menyambung persaudaraan (dan berkata benar), menanggung beban danberusaha
membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong penegak kebenaran.' Kemudian Khadijah membawa beliau pergi kepada Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza (bin Qushai, dan dia adalah) anak paman Khadijah. Ia (Waraqah) adalah seorang yang memeluk agama Nasrani pada zaman jahiliah. Ia dapat menulis tulisan Ibrani, dan ia menulis Injil dengan bahasa Ibrani (dalam satu riwayat: kitab berbahasa Arab. dan dia menulis Injil dengan bahasa Arab) akan apa yang dikehendaki Allah untuk ditulisnya. Ia seorang yang sudah sangat tua dan tunanetra. Khadijah berkata, Wahai putra pamanku, dengarkanlah putra saudaramu!' Lalu Waraqah berkata kepada beliau, Wahai putra saudaraku, apakah yang engkau lihat?' Lantas Rasulullah saw: menceritakan kepadanya tentang apa yang beliau lihat. Lalu Waraqah berkata kepada beliau, 'Ini adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Musa! Wahai sekiranya saya masih muda, sekiranya saya masih hidup ketika kaummu mengusirmu....' Lalu Rasulullah saw. bertanya, 'Apakah mereka akan mengusir saya?' Waraqah menjawab, 'Ya, belum pernah datang seorang laki-laki yang (membawa seperti apa yang engkau bawa kecuali ia ditolak (dalam satu riwayat: disakiti / diganggu). Jika saya masih menjumpai masamu, maka saya akan menolongmu dengan pertolongan yang tangguh.' Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu pun bersela, [sehingga Nabi saw. bersedih hati karenanya - menurut riwayat yang sampai kepada kami[1] - dengan kesedihan yang amat dalam yang karenanya berkali-kali beliau pergi ke puncak-puncak gunung untuk menjatuhkan diri dari sana. Maka, setiap kali beliau sudah sampai di puncak dan hendak menjatuhkan dirinya, Malaikat Jibril menampakkan diri kepada beliau seraya berkata, 'Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah yang sebenarnya.' Dengan demikian, tenanglah hatinya dan mantaplah jiwanya. Kemudian beliau kembali pulang. Apabila dalam masa yang lama tidak turun wahyu, maka beliau pergi ke gunung seperti itu lagi. Kemudian setelah sampai di puncak, maka Malaikat Jibril menampakkan diri kepada beliau seraya berkata seperti yang dikatakannya pada peristiwa yang lalu - 6/68]." [Namus (yang di sini diterjemahkan dengan Malaikat Jibril) ialah yang mengetahui rahasia sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain 124/4].
Dari dua penjelasan al-qur'an Surah An najm,At Takwir serta Hadits Shahih Bukhari diatas dapat diambil kesimpulan tentang sejarah diturunkannya Alquran
1. Al-quran diturunkan kepada Rasulullah SAW Bertempat di Gua Hira
2. Al-quran yang pertama diturunkan adalah Surah Al alaq
3. Al-quran diturunkan Kepada Rasulullah Melalui malaikat jibril
adapun mengenai waktu diturunkannya Al-quran menurut perawi hadits Abdullah ibnu Umar yaitu pada tanggal 17
Ramadhan,
perlu diketahui bahwa Al-quran tidak sekaligus diturunkan melainkan diturunkan secara Berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari (kalender Hijriyah). Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode
Mekkah dan periode
Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat
Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat
Madaniyah.
Adapun
Hikmah diturunkannya Al-quran secara berangsur-angsur dijelaskan Oleh Allah SWT dalam beberapa Surah diantaranya :
1. Surah Al isra Ayat 106 yang Artinya:
"Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya
perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian".
(al isra: 106)
2. Surah Al-furqan Ayat 32 yang Artinya :
"Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?";
demikianlah[1066] supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil
(teratur dan benar)".
(al-furqan :32)
{
[1066]. Maksudnya: Al Quran itu tidak diturunkan sekaligus, tetapi diturunkan secara berangsur-angsur agar dengan cara demikian hati nabi Muhammad s.a.w menjadi kuat dan tetap.}
Etimologi Al-qur'anul Karim
Menurut ejaan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia):
Alquran Arab:
القرآن
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya
(pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
Terminologi Al-qur'anul Karim
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Sejarah Al-quran Hingga Berbentuk Mushaf
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Rasulullah SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni
Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan
Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan
Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama
perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan
Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu
mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan
dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat
Ibnu Abi Dawud dalam
Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
- Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam
Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Jaminan Kemurnian Al-quran
Allah SWT menjamin kemurnian Al-quran yang termaktub dalam beberapa Surah :
1.Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya[793] (Alhijr:9).
[793]. Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
2.Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya.( Al-qiyyamah:17)
Dari keterangan wahyu Allah SWT diatas dapat kita ketahui bahwa Allah menjamin kemurnian Al-quran hingga akhir jaman. Terbukti dengan banyaknya jumlah Ummat islam Yang hafidz Al-quran (hafal) di indonesia Contohnya seluruh Pondok Pesantren menjadikan Hafidzul qur'an sebagai pelajaran paling utama sehingga Alquran banyak dihafal oleh para santri.
Wallahua'lam bisshooab
Semoga Artikel Ini Dapat menambah motivasi kita untuk memahami al-qur'an lebih dalam serta membudayakan untuk senantiasa membaca Al-quran dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh : Syafei HM
3:49 PM
KH. Abdullah Syafi'i
Orang Jakarte, siapa yang tak kenal nama KH Abdullah Syafii (alm) dan Perguruan Assyafi’iyah.
Sedangkan bagi penduduk Jakarta, setidaknya mengenal nama ulama kharismatis ini sebagai
nama jalan terusan Casablanca-Tebet Jakarta Selatan.
Syahdan, dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syaikh Junaid, seorang ulama Betawi,
menuju Mekah. Di sana ia bermukim dengan menggunakan nama al-Betawi.
Kefasihannya amat termashur karena beliau dipercaya menjadi imam Masjidil Haram.
Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mashab Syafi’ie,
juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali.
Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara.
Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syaikh kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini.
Syaikh Junaid mempunyai dua putera dan puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri,
seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat.
Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya,
Syaikh Junaid As’ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram.
Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun.
Di antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah
Syaikh Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin
(putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syaikh Junaid. Pasangan ini menurunkan Guru
Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi
gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi,
Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syaikh Nawawi al Bantani
dan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga,
Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya.
Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia.
Salah satunya adalah KH Abdullah Syafi’ie, yang mendirikan dan mengembangkan Perguruan Assyafiiyah
dengan sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi.
KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinuya menangani 63 lembaga pendidikan Islam.
Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai
berusia 23 tahun, merupakan masjid yang megah hingga sekarang.
Semuanya berawal dari mushola bekas kandang sapi, yang dijadikan cikal bakal Perguruan Asyafiiyah.
Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Ak-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah.
KH Abdullah Syafi’ie perguruannya menghasilkan ribuan orang diantara mereka kini menjadi tokoh agama
dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia.
KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang
di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an.
Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.
Di bidang politik, beliau pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi
Sekilas tentang KH. Abdullah Syafi'i

KH Abdullah Syafi’ie, yang populer sebagai
”Macan Betawi”, lahir di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan
pada 16 Sya’ban 1329 H./10 Agustus 1910 hari Sabtu. Nama ayahnya
H. Syafi’ie Bin Sairan
dan ibundanya Nona Binti Asy’ari. Mempunyai dua orang adik perempuan yang bernama H. Siti Rogayah dan H. Siti Aminah.
Kedua orangtuanya cinta kepada orang-orang alim dan soleh sehingga dari sejak kecil sudah diarahkan untuk belajar ilmu agama.
Sambil belajar, menuntut ilmu terus mengajar. Pada umur 17 tahun sudah memperoleh surat pemberian tahoe: boleh mengajar di langgar partikulir.
Ketika berumur 23 tahun mulai membangun Masjid Al Barakah di Kampung Bali Matraman.
Di situlah Almarhum lebih menekuni pembinaan masyarakat-ummat mengajak mereka ke jalan Allah.
Sekitar tahun 30-an, da’wahnya lebih meluas lagi mencapai daerah sekitar Jakarta dan almarhum menuntut ilmu ke Bogor (Habib Alawy Bin Tohir Alhaddad).
Sekitar tahun 40-an, membangun tempat pendidikan yaitu madrasah tingkat Ibtidaiyah,
dan secara sederhana mulai menampung pelajar-pelajar yang mukim (tinggal) terutama dari keluarga.
Pada tahun 1957 membangun AULA AS-SYAFI’IYAH yang diperuntukkan bagi madrasah tingkat Tsanawiyah Lilmuballighin wal Muallimin.
Tahun 1965 mendirikan Akademi Pendidikan Islam As-Syafi’iyah (AKPI As-Syafi’iyah).
Tahun 1967 mendirikan Stasiun Radio As-Syafi’iyah, tahun 1969 AKPI ditingkatkan menjadi UIA.
Tahun 1968 merintis tempat pendidikan disuatu desa pinggiran Jakarta, yaitu Jatiwaringin Kecamatan Pondokgede Bekasi sebagai pengembangan dari pendidikan yang telah ada.
Pada tahun 1974-1975 membangun pesantren putra dan pesantren putri di Jatiwaringin.
Pada tahun 1978 membangun pesantren khusus untuk Yataama dan Masaakin.
Pengembangan sarana untuk pendidikan dan pesantren terus dikembangkan ke sekitar Jakarta
seperti Cilangkap-Pasar Rebo, di Payangan-Bekasi, Kp. Jakasampurna-Bekasi dll.
Tahun 1980 mulai menyiapkan lokasi untuk kampus Universitas Islam As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.
Almarhum pernah menjabat sebagai Ketua I Majlis Ulama Indonesia pada periode pertama
dan juga sebagai Ketua Umum Majlis Ulama DKI periode pertama dan kedua.
Almarhum banyak memikirkan tentang pendidikan untuk menghadirkan ulama untuk masa yang akan datang
dengan mendirikan Pesantren Tinggi yaitu Ma’had Aly DAARUL ARQOM As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.
Almarhum berhati lembut : merasa pedih hatinya dengan penderitaan ummat terutama jika ummat mendapat musibah dalam urusan agama.
Almarhum segera berusaha memberikan petunjuk dan pengarahan serta mencarikan jalan-jalan keluarnya.
Selalu mengajak ummat kepada Tauhidullah dan AQIDAH ala thoriqoh Alissunnah wal jama’ah. Dimana-mana
beliau berdakwah dan berceramah selalu mengajak jama’ah untuk beristighfar dan mengumandangkan
kalimatuttauhid: La ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah.
Jiwa dan semangatnya membangun ummat untuk menghidupkan syi’arnya agama Islam. Mendirikan masjid-masjid,
musholla dan madrasah serta pesantren-pesantren. Menggalakkan ummat untuk berani dan suka beramal jariah,
infak dan shodaqoh serta berwakaf.
Mengajak Ulama dan Asatidzah untuk bersatu. Memberikan kesempatan kepada Asatidzah dan
Ulama-ulama muda untuk tampil ditengah masyarakat.
Menyelenggarakan Majlis Muzakarah Ulama dan Asatidzah.
Menyantuni para dhu’afaa (kaum yang lemah) dengan bantuan berupa beras, pakaian, uang dll.
Pada Selasa dinihari jam 00.30 KH Abdullah Syafi’ie berpulang ke rahmatullah saat menuju rumah sakit Islam.
Dishalatkan di masjid Al Barkah Bali Matraman oleh puluhan ribu ummat Islam secara bergelombang dipimpin
oleh para Alim Ulama. Turut serta tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah.
Dimakamkan pada hari selasa tgl. 18 Dzulhijjah 1405 H./ 3 September 1985 di Komplek Pesantren Putra As-Syafi’iyah
Jatiwaringin Pondokgede dengan dihantarkan oleh ratusan ribu ummat Islam.
Sampai dengan saat ini jejak langkah serta strategi beliau banyak diikuti, bukan hanya oleh keturunannya, melainkan juga diikuti oleh para murid-murdnya diantaranya.
Abuya
KH. Abdurrahman Nawi Pimp Ponpes Al-Awwabin Depok dalam dakwahnya juga mendirikan sebuah Pemancar/studio Radio FM yang di beri nama Radio Islamic center Al-Awwabin
(RIDA)
KH. A Syanwani Pendiri Yayasan Pendidikan Islam Ahmad syanwani Bogor.
(YAPIAS) dalam dakwahnya juga mendidirikan Pemancar/studio Radio saat ini dilanjutkan oleh Anaknya Abi
KH. A. Tadjuddin Syanwani dengan nama Radio Dakwah Dan Pengembangan Islam
Ahsanta Fm.
begitu erat kami rasakan hubungan kami dengan Beliau karena seiring dengan perkembangan radio Ahsantafm selalu berkaitan dengan Beliau karena kami menjadikan Radio Assafi'iyyah sebagai Referensi konten acara Ahsantafm dan kami senantiasa memutarkan rekaman ceramah Alm KH. Abdullah Syafi'i setiap hari Jum'at pagi. file ceramah tersebut kami dapatkan dari penyiar senior Assafi'iyyah Bpk Samswirno yang juga turut andil dalam perjuangan Radio Ahsantafm. Tak lebih hal ini karena kecintaan Kami Terhadap Alm KH. Abdullah Syafi'i.
Semoga kecintaan terhadap Ulama Sebagai Pewaris Para Nabi untuk terus memperjuangkan Islam
Semakin tertanam kepada generasi Penerus Selanjutnya
Oleh : Syafei HM
Sumber : Alkisah.web.id
8:27 PM
KH. Abdullah Bin Nuh
BANGSA Indonesia memiliki sejumlah tokoh atau pelaku sejarah yang memiliki peran besar dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Namun, tak sedikit di antara mereka yang masih terpinggirkan atau belum terekam dalam panggung sejarah nasional maupun lokal. Satu di antara tokoh yang terlupakan oleh catatan sejarah adalah KH Abdullah bin Nuh, seorang ulama besar asal Cianjur.
Dalam makalahnya yang berjudul ”Mengenal Perjuangan KH Abdullah bin Nuh”, Drs Reiza D Dienaputra M Hum, mengungkapkan, nama Abdullah bin Nuh seakan tenggelam oleh nama-nama besar, seperti Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, KH Achmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, KH Zaenal Mustafa (Singaparna), Ir Soekarno, Mohammad Hatta, Tuanku Imam Bonjol, dan Buya Hamka.
Padahal, menurut Lektor Kepala pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad) ini, dari perjalanan sejarah yang telah dilalui oleh tokoh ini,sangat layak dicatat dan dikenang dengan baik sebagai salah seorang tokoh pejuang dalam pentas sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mengingat, telah banyak peran positif yang diberikan dan dimainkan oleh KH Abdullah bin Nuh, baik di era sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan.
Siapa sebenarnya sosok ulama pejuang satu ini? Menurut guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Prof Dr Susanto Zuhdi M Hum, nama
KH. ABDULLAH BIN NUH cukup dikenal luas di masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yang berasal dari kalangan pesantren maupun kampus. Almarhum KH Abdullah bin Nuh sampai akhir hayatnya pada 1987, bermukim di Kota Paris, Jalan Dr Semeru, Bogor.
Mama, demikian panggilan hormat para santri kepada tokoh ulama pejuang yang dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905. Ayahnya bernama Raden H Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Kakek almarhum dari pihak ibu adalah seorang wedana di Tasikmalaya.
Di masa kanak-kanak, Abdullah dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di Tanah Suci ini Abdullah tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di Makkah.
Sekembali dari Makkah, Abdullah belajar di
Madrasah Al A'iannah Cianjur yang didirikan oleh ayahandanya. Kemudian, ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuan Abdullah dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.
Setamat dari Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya. Di sekolah ini, menurut Reiza, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato, dan kepemimpinan (
leadership). Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi guru bantu.
Antara tahun 1926 dan 1928, Abdullah diajak gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan di bidang ilmu fikih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyi Raden Mariyah (Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah), yang terbilang masih kerabat dekatnya.
Kiprah sang ulama
Namun, diakui Prof Susanto, belum banyak sumber yang tergali dalam masa dekade 1930-an hingga masuknya tentara Jepang ke Jawa pada 1942 untuk menggambarkan berbagai aspek kehidupan Abdullah dan keluarganya. Bisa jadi satu-satunya buku yang pernah merekam seluruh peristiwa dalam kehidupan KH Abdullah hingga saat ini, menurut Reiza, adalah buku
Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara.
Dalam buku
Api Sejarah ini disebutkan bahwa sejak tinggal kembali di Cianjur, Abdullah banyak mengaktivitaskan diri pada kegiatan-kegiatan pengajaran keagamaan yang berlangsung di Cianjur dan Bogor. Pada 1934, ia mulai terlibat dalam mengorganisasi lembaga pendidikan ketika ia diangkat menjadi pengurus (ketua dewan guru/direktur) Madrasah Penolong Sekolah Agama (PSA), yang didirikan oleh RH Manshur. Di luar itu, dia secara tidak langsung juga aktif dalam Sarekat Islam. Dalam organisasi pergerakan ini, ia ditunjuk sebagai korektor percetakan Ihtiar.
Masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942, secara perlahan tapi pasti mendorong Abdullah bin Nuh untuk tidak sekadar berkiprah di bidang keagamaan. Ia pun terlibat dalam medan perjuangan, dengan menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA). Karena, pemerintah kolonial Jepang saat itu mengharapkan dukungan dari umat Islam, maka untuk posisi komandan batalyon (Daidancho) ditempati oleh mereka yang berasal dari kalangan ulama atau kiai.
Dengan peran yang dimilikinya di tengah masyarakat Muslim Cianjur, Bogor, dan Sukabumi, maka oleh pemerintah Jepang, Abdullah bin Nuh kemudian ditunjuk sebagai Daidancho yang membawahkan ketiga wilayah tersebut. Aktivitas Abdullah di dalam PETA dalam perkembangan selanjutnya membawanya banyak terlibat dalam kegiatan di tingkat nasional, terutama setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Selepas kemerdekaan, Abdullah bin Nuh diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan pemerintah yang didirikan pada 23 Agustus 1945, bersamaan dengan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Di luar itu, Abdullah juga diangkat menjadi pimpinan BKR untuk wilayah Cianjur.
Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda.
Ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta pada 4 Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan oleh Belanda. Di ibu kota negara yang baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran Bahasa Arab pada RRI Yogyakarta.
Dalam masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi Islam, yang kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII)Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali. Perempuan yang dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yang merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI. Dari pernikahannya dengan Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari pernikahannya dengan istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang anak.
Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta. Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan di Ibu Kota ini hingga tahun 1970. Setelah itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Ulama pejuang asal Cianjur ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar.
Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan sebuah majelis taklim bernama Al-Ghazali. Majelis yang berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan ini hingga kini masih berdiri dengan dipimpin oleh putra bungsunya, KH Mustofa. Yayasan Al Ghajali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga menengah atas.
Karya Sang Ulama
Sepanjang kariernya, KH Abdullah bin Nuh pernah menulis buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun Arab. Karyanya yang terkenal adalah
Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun bersama Oemar Bakry.
Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab antara lain
al-Alam al-Islami (Dunia Islam),
Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah),
La Taifiyata fi al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam),
Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafii),
Mu’allimu al-’Arabi (Guru Bahasa Arab), dan
al-Lu’lu’ al-Mansur (Permata yang bertebaran).
Adapun karangannya yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah
Cinta dan Bahagia,
Zakat Modern,
Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, dan
Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten serta sebuah buku berbahasa Sunda,
Lenyepaneun (Bahan Telaah Mendalam).
Adapun karya terjemahan dari kitab Imam al-Ghazali adalah
Minhaj al-Abidin (Jalan Bagi Ahli Ibadah),
Al-Munqiz Min al-Dalal (Pembebas dari Kesesatan), dan
al-Mustafa li ManLahu Ilm al-Ushul (Penjernihan bagi Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul). •••
Sumber:
Islam Digest, Republika, Ahad, 16 Mei 2010
Semoga perjuangan Beliau dapat memberikan inspirasi dan tauladan bagi generasi penerus bangsa terutama Islam pada Khusunya.
11:09 PM
I M A N
Definisi Iman
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah: membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.
Ini adalah pendapat jumhur. Dan Imam Syafi’i meriwayatkan ijma para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka yang sezaman dengan beliau atas pengertian tersebut.
Penjelasan Definisi Iman
“Membenarkan dengan hati” maksudnya menerima segala apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam.
“Mengikrarkan dengan lisan” maksudnya, mengucapkan dua kalimah syahadat, syahadat “Laa ilaha illallahu wa anna Muhammadan Rasulullah” (Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah).
“Mengamalkan dengan anggota badan” maksudnya, hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya. Kaum salaf menjadikan amal termasuk dalam pengertian iman. Dengan demikian iman itu bisa bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan berkurangnya amal shalih.
Dalil-dalil Kaum Salaf
1. Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Dan tiada kami jadikan penjaga Neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (menyatakan), Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” (Al-Muddatstsir: 31)
2. Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan se-bagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (Al-Anfal: 2-4)
3. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: “Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan “la ilaha illallahu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim, 1/63)
4. Sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, riwayat Abu Sa’id Al-Khudry, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: “Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, maka hen- daklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, 1/69)
Bagaimana Dalil-dalil Tersebut Menunjukkan bahwa Iman Dapat Bertambah dan Berkurang
Dalil Pertama: Di dalamnya terdapat penetapan bertambahnya iman orang-orang mukmin, yaitu dengan persaksian mereka akan kebenaran nabinya berupa terbuktinya kabar beritanya sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab samawi sebelumnya.
Dalil kedua: Di dalamnya terdapat penetapan bertambahnya iman dengan mendengarkan ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang disifati oleh Allah, yaitu mereka yang jika disebut nama Allah tergeraklah rasa takut mereka sehingga mengharuskan mereka menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.
Mereka itulah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah. Mereka tidak mengharapkan selainNya, tidak menuju kecuali kepadaNya dan tidak mengadukan hajatnya kecuali kepada-Nya. Mereka itu orang-orang yang memiliki sifat selalu melaksanakan amal ibadah yang di syariatkan seperti shalat dan zakat. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman, dengan tercapainya hal-hal tersebut baik dalam i’tiqad maupun amal perbuatan.
Dalil ketiga: Hadits ini menjelaskan bahwa iman itu terdiri dari cabang-cabang yang bermacam-macam, dan setiap cabang adalah bagian dari iman yang keutamaannya berbeda-beda, yang paling tinggi dan paling utama adalah ucapan “la ilaha illallah” kemudian cabang-cabang sesudahnya secara berurutan dalam nilai dan fadhilah-nya sampai pada cabang yang terakhir yaitu menyingkirkan rintangan dan gangguan dari tengah jalan.
Adapun cabang-cabang antara keduanya adalah shalat, zakat, puasa, haji dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakkal, khasyyah (takut kepada Allah) dan sebagainya, yang kesemuanya itu dinamakan iman. Di antara cabang-cabang ini ada yang bisa membuat lenyapnya iman manakala ia ditinggalkan, menurut ijma’ ulama; seperti dua kalimat syahadat. Ada pula yang tidak sampai menghilangkan iman me-nurut ijma’ ulama manakala ia ditinggalkan; seperti menyingkirkan rintangan dan gangguan dari jalan.
Sejalan dengan pengamalan cabang-cabang iman itu, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, maka iman bisa bertambah dan bisa berkurang.
Dalil keempat: Hadits Muslim ini menuturkan tingkatan-tingkatan nahi munkar dan keberadaannya sebagai bagian dari iman. Ia menafikan (meniadakan) iman dari seseorang yang tidak mau melakukan tingkatan terendah dari tingkatan nahi munkar yaitu mengubah kemungkaran dengan hati. Sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat hadits: “Dan tidak ada sesudahnya sebiji sawi pun dari iman.” (HR. Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Bayanu Kurhin Nahyi Anil Mungkar).
Berdasarkan hal ini maka tingkatan di atasnya adalah lebih kuat keimanannya. Wallahu a’lam!
2:22 PM
Pelantikan Sayyidina Abubakar Sidiq sebagai Khalifah
imam al-Bukhari berkata, “Telah berkata kepada kami Ibrahim bin Musa dia berkata, ‘Telah berkata kepada kami Hisyam dari Ma’mar dari az-Zuhri, dia berkata, ‘Telah berkata kepadaku Anas bin Malik bahwa dia mendengar pidato terakhir Umar ketika duduk di mimbar satu hari setelah Rasulullah saw. wafat, sementara Abu Bakar duduk dan diam. Umar berkata, ‘Aku ber-harap agar Rasulullah saw. diberi umur yang panjang hingga menjadi orang yang paling terakhir di antara kita maksudnya agar Rasulullah saw. yang terakhir diwafatkan setelah seluruh sahabat wafat kini beliau telah wafat, namun Allah telah menjadikan di hadapan kita cahaya petunjuk yang telah diberikannya kepada Muhammad, selanjutnya Abu Bakar adalah Sahabat Rasulullah saw. Ketika mereka berdua berada dalam gua. Beliaulah yang paling pantas menjadi pimpinan segala urusan kalian, maka berdirilah dan bai’atlah dia,’sebelumnya sebagian dari kaum muslimin telah membaitnya ketika berada di Saqifah Bani Sa’idah- namun bai’at secara umum baru terlaksana dalam masjid di atas mimbar.”
A.PIDATO PELANTIKANNYA
Az-Zuhri berkata, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata, ‘Aku mendengar Umar berkata pada hari itu kepada Abu Bakar, ‘Naiklah ke atas mimbar,’ maka iapun terus menuntut hingga Abu Bakar akhirnya naik ke atas mimbar dan dibai’at oleh seluruh kaum muslimin. Muhammad Ibnu Ishaq berkata Telah berkata kepadaku az-Zuhri dia berkata, ‘Telah berkata kepadaku Anas bin Malik, dia berkata, ‘Ketika Abu Bakar dibai’at di Saqifah, keesokan harinya ia duduk di atas mimbar sedang Umar berdiri disampingnya memulai pembicaran sebelum Abu Bakar berbicara. Umar mulai mengucapkan pujian terhadap Allah sebagai pemilik segala pujian dan sanjungan. Kemudian berkata, ‘Wahai saudara-saudara sekalian, aku telah katakan kepada kalian kemarin perkataan yang tidak kudapati dalam Kitabullah, dan tidak pula pernah diberikan Rasulullah saw. padaku. Aku berpikiran bahwa pastilah Rasulullah saw. akan hidup dan terus mengatur urusan kita -maksudnya bahwa Rasulullah saw. akan wafat belakangan setelah para sahabat wafat, dan sesungguhnya Allah telah meninggalkan untuk kita kitabNya yang membimbing Rasulullah saw. maka jika kalian berpegang teguh dengannya Allah pasti akan membimbing kalian sebagaimana Allah telah membimbing NabiNya. Dan sesungguhnya Allah telah mengumpulkan seluruh urusan kita di bawah pimpinan orang yang terbaik dari kalian. Ia adalah sahabat Rasulullah saw. dan orang yang kedua ketika ia dan Rasulullah saw. bersembunyi di dalam gua. Maka berdirilah kalian dan berikanlah bai’at kalian kepadanya.’ Maka orang-orang segera membai’at Abu Bakar secara umum setelah sebelumnya di bai’at di Saqifah.
Selepas dibai’at Abu Bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, para hadirin sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik, maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhinatan. Orang yang lemah di antara kalian sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya Insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian tersebar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian.’93 Sanad ini shahih, adapun ungkapannya, ‘Sesungguhnya Aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik’ adalah bagian dari ketawadhu’an beliau. Sebab mereka seluruhnya sepakat bahwa beliaulah yang terbaik dan termulia.”
B.BAI’AT ALI BIN ABI THALIB DAN AZ-ZUBAIR TERHADAP ABU BAKAR
Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, “Kami diberitahukan oleh Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Hafizh al-Isfirayini, dia berkata, telah berkata kepada kami Abu Ali al-Husain bin Ali al-Hafizh, dia berkata, telah berkata kepada kami Abu Bakar Muhammad Ibnu Ishaq bin Khuzaimah, dan Ibrahim bin Abi Thalib, keduanya berkata, telah berkata kepada kami Bandar bin Bassyar,94 telah berkata kepada kami Abu Hisyam al-Makhzumi, dia berkata, telah berkata kepada kami Wuhaib, dia berkata, telah berkata kepada kami Dawud bin Abi Hind, dia berkata,’ Kami diberitakan dari Abu Yadhrah dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata, ‘Ketika Rasulullah saw. wafat, orang-orang berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah. Sementara di tengah mereka hadir Abu Bakar dan Umar. Maka seorang pembicara berdiri dari kalangan Anshar sambil berkata, ‘Tahukah kalian bahwa Rasulullah saw. dari golongan Muhajirin, dan penggantinya dari kaum Muhajirin juga, sedangkan kami adalah penolong Rasulullah saw. sekaligus penolong orang yang
menggantikan posisinya, maka berdirilah Umar dan berkata, ‘Sesungguhnya pembicara kalian benar! Jika kalian katakan selain itu, maka kami tidak akan membai’at kalian, lalu Umar segera meraih tangán Abu Bakar sambil berkata, Inilah pemimpin kalian, bait’atlah dia!’ Umar mulai membai’atnya lalu diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshar.
Setelah itu Abu Bakar naik ke atas mimbar, kemudian ia mencari az-Zubair diantara kaum muslimin namun tidak menemukannya. Maka seseo-rang perintahkan untuk memanggil Zubair. Tak lama kemudian Zubair datang menghadapnya. Abu Bakar berkata, ‘Wahai pengawal dan sepupu Rasulullah saw., apakah kamu ingin memecah belah persatuan kaum muslimin?’ az-Zubair menjawab, ‘Janganlah engkau menghukumku wahai khalifah Rasul!’ Az-Zubair segera berdiri dan membaiatnya. Kemudian Abu Bakar tidak pula melihat Ali, maka beliau perintahkan agar memanggil Ali. Tak lama kemudian Ali datang. Abu Bakar berkata padanya, ‘Wahai sepupu Rasulullah saw. dan menantunya apakah engkau ingin memecah belah persatuan kaum muslimin?’ Ali menjawab, ‘Tidak, janganlah engkau menghukumku wahai Khalifah Rasulullah saw.!’ Maka Ali segera membai’atnya. Begitulah yang sebenarnya terjadi dan seperti itulah kira-kira maknanya.”95
Abu Ali al-Hafizh berkata,”Aku mendengar Muhammad Ibnu Ishaq bin Khuzaimah berkata, Muslim bin Hajjaj datang kepadaku menanyakan perihal hadits ini, maka aku tuliskan hadits ini dalam sebuah kertas kemudian aku bacakan untuknya, maka dia berkata, ‘Hadits ini senilai dengan satu ekor unta?’ Kujawab, ‘Seekor unta? Tidak! bahkan hadits ini senilai dengan badrah (7000 dinar).” 96
Ali bin ‘Ashim meriwayatkan dari jalur al-Jurairi, dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id al-Khudri, kemudian dia menyebutkan kisah yang semakna dengan di atas. Sanad ini shahih dari hadits Abu Nadhrah al-Munzir bin Malik bin Quta’ah, dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan al-Khudri.97
CATATAN: PENTING
Dalam riwayat ini banyak sekali manfaat besar yang dapat dipetik di antaranya, tentang bai’at Ali terhadap Abu Bakar. Kejadian ini terjadi di hari pertama ataupun di hari kedua setelah Rasulullah saw. wafat. Itulah pendapat yang benar, sebab Ali bin Abi Thalib tidak pernah berpisah dengan Abu Bakar ashShiddiq ra. sesaatpun, dan Ali sendiri tidak pernah berhenti shalat di belakangnya. Sebagaimana yang akan kami sebutkan nanti. Bahkan Ali turut keluar bersamanya menuju Dzul Qashshah ketika Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menghunus pedangnya ingin menumpas orang-orang yang murtad, sebagaimana yang kelak akan kami terangkan.
Namun karena Fathimah sedikit kesal terhadap Abu Bakar disebabkan persepsinya yang salah mengenai warisan Rasulullah saw., ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Kami tidak mewarisi apa-apa, dan apa yang kutinggalkan adalah sedekah” Oleh karena itu Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Tidak memberikan warisan Rasulullah saw. kepadanya, kepada para istrinya maupun paman-pamannya berdasarkan hadits yang jelas ini, sebagaimana kelak akan kami terangkan pada waktunya.
C. Fatimah ingin Warisan Rasulullah
Fathimah memohon padanya agar Ali dapat mengurus tanah Rasulullah saw. yang berada di Khaibar dan di Fadak, namun Abu Bakar tidak mengabulkan per-mintaannya, sebab dia berpendapat bahwa di atas pundaknyalah kewajiban mengurus seluruh tanah milik Rasulullah saw. Abu Bakar adalah orang yang jujur, baik, mendapat petunjuk, dan selalu mengikuti kebenaran. Akhirnya muncul dari dalam diri Fathimah rasa marah dan kesal ter-hadapnya apalagi Fathimah adalah seorang wanita yang tidak ma’shum wajar jika ia memboikot Abu Bakar ash-Shiddiq ra. hingga wafat. Oleh karena itu Ali berusaha menjaga perasaan istrinya dengan berbuat apa-apa yang dianggap dapat menyenangkannya. Namun ketika Fathimah wafat persis enam bulan sejak wafatnya Rasulullah saw., Ali memandang perlu memperbaharui bai’atnya terhadap Abu Bakar, sebagaimana yang kelak akan kita sebutkan dalam Shahihain dan kitab-kitab lain-lainnya insya Allah. Walaupun sebelum-nya Ali telah membai’at Abu Bakar sebelum Rasulullah saw. dimakamkan.
Hal tersebut menguatkan kebenaran perkataan Musa bin Uqbah dalam kitab Maghazinya dari Sa’ad bin Ibrahim, dia berkata, Telah berkata kepada-ku bapakku, bahwa bapaknya -Abdurrhman bin Auf- pernah bersama Umar dan Muhammad bin Maslamah mematahkan pedang Zubair, kemudian Abu Bakar berpidato dan memohon maaf dari para hadirin sambil berkata, Sesungguhnya aku tidak pernah berambisi untuk menjadi pemimpin baik siang maupun malam. Dan aku tidak pernah pula meminta hal tersebut baik sembunyi-sembunyi maupun terangterangan.”
Maka orang-orang Muhajirin menerima perkataannya. Ali dan Zubair berkata, “Kami tidak merasa marah kecuali karena kami tidak diikutkan dalam musyawarah pemilihan kalian, tetapi kami tetap berpandangan bahwa Abu Bakarlah yang paling pantas menjadi pemimpin. Dialah orang yang menemani Rasulullah saw. bersembunyi di dalam gua. Kita telah mengetahui kemulian dan kebaikannya. Dialah yang diperintahkan Rasulullah saw. Untuk menjadi imam shalat manusia ketika Rasulullah saw. hidup.” Sanad ini dinilai baik, Alhamdulillah Rabb al-Alamin.
D. IJMA’ SAHABAT UNTUK MEMILIH ABU BAKAR SEBAGAI KHALIFAH DAN PEMBAIATAN BELIAU TANPA ADANYA NASH
Barangsiapa memperhatikan apa yang telah kami sebutkan, maka akan terlihat jelas ijma’ (kesepakatan) sahabat dari kalangan Muhajirin maupun Anshar untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah. Semakin jelas pula maksud sabda Rasulullah saw. “Allah dan kaum mukminin enggan menerima kecuali Abu Bakar”, akan semakin jelas baginya bahwa Rasulullah saw. tidak pernah menulis secara langsung dalam bentuk teks siapa yang menggantikan beliau setelah beliau wafat Baik Abu Bakar, sebagaimana anggapan sebagian Ahlus Sunnah, maupun pula Ali, sebagaimana anggapan kaum Syi’ah Rafidhah. Namun Rasulullah saw. telah memberikan isyarat kuat untuk memilih Abu Bakar. Hal itu akan dapat dipahami dengan mudah oleh seluruh orang berakal. Sebagaimana yang telah kami kemukakan, Alhamdulillah.
E. Dalil yang Menunjukkan Bahwa Rasulullah saw. Tidak Menunjuk Seorangpun Sebagai Khalifah Sepeninggal Beliau98
1) Disebutkan dalam kitab Shahiliain dari hadits Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Ibnu Umar, Ketika Umar bin al-Khaththab ditikam, ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Tidakkah engkau menunjuk penggan-timu wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Jika aku memilih penggantiku sebagai khalifah maka sesungguhnya hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Abu Bakar. Dan jika aku tidak menunjuk pengganti, maka hal itu telah dilakukan juga oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Rasulullah saw..” Ibnu Umar berkata, “Maka ketika itu aku ketahui bahwa Rasulullah saw. Tidak pernah menunjuk penggantinya.” 99
2) Sufyan ats-Tsauri berkata, Aswad bin Qais meriwayatkan dari Amru bin Sufyan, dia berkata, “Ketika Ali menang dalam perang Jamal, beliau ber-pidato, ‘Wahai sekalian manusia sesungguhnya Rasulullah saw. tidak pernah menjanjikan kepada kami untuk mendapatkan jabatan ini sama sekali. Kami sepakat bahwa Abu Bakarlah yang pantas menggantikan beliau. Dan ternyata beliau dapat menjalankan kepemimpinannya dengan baik hingga beliau wafat. Kemudian menurut Abu Bakar, Umarlah yang lebih layak, maka beliau memilih Umar. Dan ternyata Umar juga dapat menjalankan amanah dengan istiqomah hingga beliau wafat atau dia berkata- hingga beliau dapat mene-gakkan agama’.100
3) Imam Ahmad berkata, “Telah berkata kepada kami Abu Nuaim, dia berkata, telah berkata kepada kami Syuraik dari al-Aswad bin Qais dari Amru bin Sufyan, dia berkata, ‘Seorang lelaki berkhutbah di Basrah ketika Ali menang. Maka Ali berkata, ‘Khathib ini as-syahsyah (berbicara tidak berle-bihan)101 – sesungguhnya Rasulullah saw. terdahulu memimpin, kemudian datang setelah beliau Abu Bakar dan yang ketiga adalah Umar. Setelah mereka, gelombang fitnah datang menerpa kita menurut apa yang telah dikehendaki oleh Allah SWT.” .
4) Al-Hafizh al-Baihaqi berkata, “Telah berkata kepada kami Abu Abdullah Al-Hafizh, dia berkata, telah berkata kepada kami Abu Bakar Muhamad bin Ahmad al-Mazki di Marwa, dia berkata, telah berkata kepada kami Abdullah bin Rauh al-Madaini, dia berkata, telah berkata kepada kami Syabbabah bin Sawwar, dia berkata, telah berkata kepada kami Syu’aib bin Maimun dari Husein bin Abdurrahman, dari as-Sya’bi dari Abu Wa’il, dia berkata, ‘Pernah ditanyakan kepada Ali bin Abi Thalib,’Apakah engkau tidak memilih penggantimu untuk kami?’ Beliau menjawab, ‘Rasulullah saw. tidak pernah memilih penggantinya, kenapa aku harus memilih? Namun jika Allah ingin kebaikan untuk manusia, Dia pasti akan mengumpulkan segala urusan mereka di bawah pimpinan orang yang terbaik dari mereka sebagai-mana Allah telah memilih pemimpin terbaik setelah Rasulullah saw. dari orang yang terbaik di antara mereka102.’ Sanadnya baik namun mereka tidak mengeluarkannya.”
5) Yaitu yang disebutkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits az-Zuhri dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik dari Ibnu Abbas, “Ketika Abbas dan Ali keluar dari sisi Rasulullah saw. ada yang bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana keadaan Rasulullah saw.?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah kondisi beliau lebih baik,’ namun Abbas berkata, ‘Sesungguhnya engkau keliru, aku benar-benar mengetahui wajahwajah Bani Hasyim jika akan meninggal, aku benar-benar melihat dari wajah Rasulullah saw. yang menandakan bahwa beliau akan meninggal. Maka mari kita pergi dan bertanya kepada beliau siapa yang kelak menjadi penggantinya. Jika kelak penggantinya dari kita maka kita akan mengetahuinya. Dan jika ternyata kelak kepemimpinan tersebut bukan milik kita. maka kita dapat menyuruh orang tersebut dan Rasulullah saw. bisa berwasiat padanya untuk menjaga kita.’ Maka Ali berkata, ‘Aku tidak akan menanyakan hal itu kepada beliau! Demi Allah jika beliau tidak memberikan kepemimpinan kepada kita, mustahil manusia akan mengangkat kita selama-lamanya setelah beliau wafat.’ Kisah ini diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Ishaq dari az-Zuhri dengan makna yang sama. Dan dalam riwayat ini disebutkan, ‘Maka keduanva masuk menemui Rasulullah saw. Ketika beliau akan meninggal, di akhir riwayat disebutkan, ‘Wafatlah Rasulullah saw. pada waktu Dhuha setelah matahari meninggi pada hari itu’.”103
Ibnu Katsir berkata, “Peristiwa itu terjadi pada hari Senin yaitu pada hari wafatnya Rasulullah saw. Dan ini menunjukkan bahwa ketika beliau wafat beliau tidak meninggalkan wasiat siapa yang menjadi pemimpin setelah beliau.”
Dalam kitab Shahihain diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa petaka terbesar terjadi ketika ada yang berusaha menghalangi keinginan Rasulullah saw. Untuk menuliskan sebuah wasiat. Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa beliau minta agar seseorang menuliskan untuknya sebuah wasiat agar mereka tidak tersesat setelah wafatnya. Namun ketika banyak suara-suara yang saling berselisih antara pro dan kontra di sisi Rasulullah saw. maka beliau berkata, “Berdirilah kalian tinggalkan aku, sesungguhnya apa yang aku lakukan lebih baik daripada apa yang kalian serukan. “Telah kita sebutkan sebelumnya bahwa setelah itu beliau berkata, “Allah dan kaum mukminin tidak rela kecuali kepada Abu Bakar.”104
Dalam kitab Shahihain diriwayatkan dari hadits Abdullah bin Aun dari Ibrahim at-
Taimi dari al-Aswad, dia berkata, “Ditanyakan kepada ‘Aisyah ra., mengenai perkataan orang-orang yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. Telah memberikan wasiat kepada Ali (untuk menjadi Khalifah) maka ia berkata, ‘Apa yang diwasiatkan Rasulullah saw. kepada Ali?’ ‘Aisyah ra. menjawab, ‘Beliau (Rasulullah saw.) menyuruh agar bejana tempat buang air kecil dibawakan, kemudian ia bersandar dan akulah yang menjadi tempat sandarannya, tak lama kepala beliau terkulai jatuh dan ternyata beliau telah wafat tanpa aku ketahui.’ Jadi bagaimana mungkin orang-orang itu mengatakan bahwa Rasulullah saw. memberikan wasiat kepada Ali?”105
Dalam kitab diriwayatkan dari hadits al-A’masy dari Ibrahim at-Taimi dari ayahnya, dia berkata, “Ali bin Abi Thalib berpidato di hadapan kami dan berkata, ‘Barangsiapa menganggap bahwa kami memiliki sesuatu wasiat (dari Rasulullah saw.) selain Kitabullah dan apa yang terdapat dalam sahifah -secarik kertas yang tersimpan dalam sarung pedangnya berisi tentang umur unta dan diyat tindakan criminal maka sesungguhnya dia telah berkata dusta! Dan di antara sahifah itu disebutkan sabda Rasulullah saw. ‘Madinah adalah tanah suci antara gunung ‘Ir dan Tsaur106, maka barangsiapa membuat sesuatu yang baharu atau melindungi orang tersebut maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima dari-nya sedikitpun tebusan. Dan barangsiapa menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya ataupun menisbatkan dirinya kepada selain maulanya (tuannya) maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya sedikitpun tebusan, dan sesungguhnya dzimmah (jaminan keamanan yang diberikan kaum muslimin terhadap orang kafir) adalah satu. Maka barangsiapa merusak dzimmah seorang mukmin maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya sedikitpuntebusan maupun suapan’.”107
F. Bantahan Terhadap Kaum Syi’ah Rafidhah ttg khalifah
Hadits dari Ali yang terdapat dalam kitab Shahihain maupun dalam kitab lainnya merupakan bantahan telak terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang beranggapan bahwa Rasulullah saw. telah mewasiatkan urusan kekhalifahan kepada dirinya. Jika benar apa yang mereka klaim pastilah tidak satupun sahabat berani menolak wasiat tersebut, sebab mereka adalah generasi yang paling patuh terhadap Allah dan RasulNya, baik ketika Rasul hidup maupun setelah beliau wafat. Dan sangat mustahil jika mereka berani mengubah wasiat Rasulullah saw. dengan memajukan calon yang tak pernah dipilih oleh beliau. Atau sebaliknya, mengenyampingkan orang yang beliau tunjuk. Mustahil hal ini mereka lakukan, dan barangsiapa menganggap para sahabat berbuat demikian berarti ia telah terang-terangan menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah fasik dan telah bersepakat membangkang perintah Rasulullah saw. dan menentang hukum serta wasiat beliau. Barangsiapa berani berbuat hal itu berarti dia telah melepaskan dirinya dari ikatan Islam. Dan secara ijma’ dihukumi kafir oleh seluruh ulama, bahkan darah mereka itu lebih halal lagi untuk ditumpahkan. Selanjutnya jika wasiat ini memang ada mengapa Ali tidak menjadikannva sebagai senjata untuk menghujat para sahabat bahwa beliaulah yang berhak mengemban urusan kekhalifahan? Jika ternyata beliau tidak dapat menjalankan wasiat tersebut maka beliau dianggap lemah. Dan seorang yang lemah tidak pantas menjadi pemimpin (khalifah). Dan jika ternyata beliau mampu, tetapi tidak melaksanakannya berarti beliau seorang penghianat. Dan seorang penghianat adalah fasik yang harus disingkirkan dari kursi kekhalifahan. Dan jika ternyata beliau tidak tahu bahwa wasiat tersebut memang ada, maka berarti beliau adalah seorang yang jahil. Lalu bagaimana pula jika beliau sendiri tidak tahu sementara orang yang datang setelahnya mengetahui hal ini? Bukankah ini suatu perkara yang mustahil dan dusta yang dibarengi dengan kebodohan dan kesesatan?
Oleh karena itu anggapan seperti ini hanya dapat diterima oleh benak-benak orang yang jahil dan tertipu dengan diri mereka sendiri. Anggapan yang telah dihiasi oleh tipu muslihat syetan tanpa dalil maupun keterangan yang nyata. Hanyalah bualan dan omong kosong yang penuh kedustaan semoga kita dilindungi oleh Allah dari kebodohan mereka yang penuh d engan kehinaan dan kekafiranhanya kepada Allah sajalah kita berserah diri agar selalu diberi bimbingan untuk selalu berpegang teguh dengan as-Sunnah dan al-Qur’an dan diwafatkan di atas Islam dan imán serta diwafatkan dalam keteguhan dan keyakinan. Kemudian kita berharap agar timbangan amal kita diberatkan, diselamatkan dari api Neraka, dan berbahagia masuk ke dalam surga yang dijanjikan Allah. Sesugguhnya Dia Maha Pemberi, Pengasih dan Penyayang.
G. Bantahan Terhadap Para Pengikut Tarekat dan Tukang Dongeng
Hadits Ali yang terdapat dalam kitab shahihain di atas sekaligus merupakan bantahan terhadap prasangka-prasangka dusta para pengikut tarekat dan tukang dongeng yang jahil. Mereka beranggapan bahwa Nabi saw mewasiatkan banyak perkara kepada Ali bin Abi Thalib yang mereka sebutkan dengan panjang lebar dengan bohong seolah-olah Nabi banyak berpesan kepada Ali, dengan ungkapan, “Wahai Ali lakukanlah ini dan itu! Dan jangan lakukan ini dan itu! Wahai Ali yang berbuat begini maka baginya ganjaran sebesar ini…” dan seterusnya dengan menggunakan lafazh yang sangat kacau balau ditambah lagi kandungan makna yang aneh dan penuh kebodohan. Pada hakikatnya hanya mengotori halaman saja, wallahu a’lam.108
H. SIKAP FATHIMAH RA & ALI RA. TERHADAP ABU BAKAR RA BERKENAAN WARISAN NABI SAW.
Imam al-Bukhari berkata, Bab Perkataan Rasulullah saw. Kami (para Nabi) tidak mewariskan, dan apapun yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Telah berkata kepada kami Abdullah bin Muhammad, dia berkata, telah berkata kepada kami Hisyam, dia berkata, telah berkata kepada kami Ma’mar dari az-Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah ra., bahwa Fathimah dan Abbas pernah mendatangi Abu Bakar untuk menuntut harta waris milik mereka yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Ketika itu mereka menuntut sebidang tanah milik Rasulullah saw. di Fadak dan jatah beliau di Khaibar, maka Abu Bakar berkata kepada keduanya, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Kami tidak mewariskan, dan apapun yang kami tinggalkan hakikatnya adalah sedekah, dan sesungguhnya keluarga Muhammad mendapatkan nafkah makan mereka dari hasil harta ini.’
Kemudian Abu Bakar melanjutkan perkataannya, ‘Demi Allah aku tidak akan meninggalkan suatu perkara yang aku lihat Rasulullah saw. Mengerjakannya kecuali aku akan pula melakukannya!” Sejak itu Fathimah memboikotnya dan tidak berbicara dengannya hingga Fathimah wafat’.”109
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dalam Shahihnya. kitab al- Maghazi’110
Kemudian ia melanjutkan, “Ketika Fathimah meninggal, Ali mengubur-kannya pada malam hari tanpa memberitahukan berita ini kepada Abu Bakar setelah ia menshalatkannya. Ketika Fathimah masih hidup Ali masih sangat disegani karena kedudukan Fathimah. Namun ketika Fathimah wafat Ali mulai melihat banyak orang mulai mengingkari sikapnya terhadap Abu Bakar. Maka Ali segera mencari jalan untuk berdamai dengan Abu Bakar dan kembali membai’atnya. Setelah itu ia segera mengirim utusan kepada Abu Bakar agar beliau menemuinya tanpa membawa seseorangpun. Ali tidak senang jika Abu Bakar membawa Umar karena faham sikap umar yang keras- namun Umar berpesan kepada Abu Bakar,
‘Demi Allah, janganlah engkau mendatangi mereka sendiri!’ Abu Bakar menjawab pula, ‘Apa yang akan mereka lakukan terhadap diriku? Demi Allah aku akan
mendatangi mereka! Maka berangkatlah Abu Bakar kemudian setelah mengucapkan Tasyahhdud Ali mulai berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mengetahui keutamaanmu dan apa yang Allah anugerahkan kepadamu. Dan sebenarnya kami tidak pernah merasa iri dengan kebaikan yang Allah limpahkan kepadamu. Namun engkau memaksakan kehendakmu kepada kami, sementara kami menganggap bahwa kami masih memiliki jatah dari harta warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. kepada
kami karena hubungan kekerabatan kami dengan beliau.’ Ali masih terus berkatakata hingga Abu Bakar menangis dan berkata, ‘Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya! sesungguhnya kerabat Rasulullah saw. lebih aku cintai dan aku utamakan untuk lebih diperhatikan daripada kerabatku sendiri. Adapun perselisihan yang terjadi antara kami dan kalian dalam masalah harta warisan ini pada hakikatnya tidak pernah sedikitpun aku selewengkan dalam mengurusnya. Tidaklah segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah saw. kecuali aku lakukan.’ Maka Ali berkata kepada Abu Bakar, ‘Aku berjanji malam ini akan membai’atmu kembali.’ Maka setelah melaksanakan shalat Zhuhur, Abu Bakar naik ke atas mimbar kemudian beliau berpidato setelah mengucapkan tasyahhud mengenai Ali dan sebab keterlambatannya memberi bai’at kepada dirinya lengkap dengan alasan yang melatarbelakanginya. Setelah itu Ali ganti naik ke atas mimbar dan setelah bertasyahud ia menyebutkan keutamaan Abu Bakar . keseniorannya dalam Islam sambil menyebutkan bahwa keterlambatan-nya dalam membai’at Abu Bakar bukan karena ingin menyainginya bukan pula karena mengingkari
keutamaan yang diberikan Allah padanya. Setelah itu ia berdiri menuju Abu Bakar dan membai’atnya. Setelah itu orang ramai datang kepada Ali sambil mengucapkan, ‘ahsanta’ (sikapmu benar) sejak itu orang-orang kembali dekat kepada Ali setelah ia meralat sikapnya terdahulu.”
Bantahan Terhadap Syubhat
Dalam kasus ini kaum Syi’ah Rafidah banyak berbicara atas dasar kebodohan sambil mengada-ada perkara yang mereka tidak ketahui, bahkan mendustakan apaapa yang tidak mereka pahami ilmunya dan belum sampai kepada mereka bagaimana hakikat penafsiran yang benar dalam perkara ini. Mereka sibuk turut campur dalam hal-hal yang tidak layak mereka campuri. Bahkan sebagian dari mereka berupaya menolak hadits Abu Bakar yang kami sebutkan tadi dengan alasan bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.” (An-Naml: 16). Dan ayat lainnya yangberbunyi,
“Maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub, dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6). Padahal cara mereka beiistidlal (mengambil dalil) dianggap keliru karena beberapa alasan,111
Pertama, Firman Allah, “Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud.” (An-Naml: 16). Yakni mewarisi kerajaannya serta kenabiannya, artinya bahwa Kami (Allah) menjadikannya sebagai pengganti setelah Dawud, yakni sebagai raja yang mengatur seluruh rakyat dan sebagai hakim bagi bangsa Bani Israil. Kami jadikan ia sebagai Nabi yang mulia sebagaimana ayahnya. Sebagaimana ayahnya seorang Raja dan Nabi maka iapun dijadikan seperti itu pula. Bukan maksudnya di sini bahwa Sulaiman mewarisi harta ayahnya, sebab diriwayatkan bahwa Dawud memiliki anak yang banyak sekitar seratus orang, oleh karena itu jika makna dari mewarisi dalam ayat tadi adalah mewarisi harta kenapa hanya Sulaiman saja yang disebutkan sebagai pewaris ayahnya dari sekian banyak saudara-saudaranya. Karena itu makna dari kata mewarisi adalah mewarisi kerajaan dan kenabiannya setelah nabi Dawud wafat, karena itulah Allah berfirman, 1“Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia berkata, ‘Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesua-tu. Sesungguhnya (semita) ini benar-benar suata kurnia yang nyata’.” (An-Naml: 16).
Dan ayat-ayat selanjutnya. Masalah ini telah kita bahas panjang lebar dalam kitab tafsir112 dan saya anggap hal itu sudah cukup. Adapun kisah Zakaria AS. sesunggunya beliau adalah seorang Nabi ‘.yang mulia, sementara dunia dalam pandangannya sangat hina. Apalagi untuk meminta kepada Allah agar anaknya dapat mewarisi hartanya. Beliau hanyalah seorang pengrajin kayu dan makan dari hasil buah tangannya sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari.113 Dan beliau tidak pernah menyimpan makanan lebih dari keperlu-anya. Mustahil jika ia meminta kepada Allah agar diberikan anak yang dapat mewarisi hartanya, jika memang ia memiliki harta. Sebenarnya yang ia minta adalah anak shalih yang dapat mewarisi kenabiannya dan dapat melaksanakan apa-apa yang menjadi kemaslahatan bagi bangsa Bani Israil, dapat menunjuki mereka kepada jalan kebenaran, oleh karena itulah Allah menyebutkan, Kaaf Ha Yaa ‘Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tetang rahmat Rabb kamu kepada hamba-Nya Zakariya. yaitu tatkala ia berdo’a kepada Rabbnya dengan suara yang lembut. Ia berkata,”Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Rabbku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalanku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub, dan jadikanlah ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 1-6).
Sampai akhir kisah. Ia berdoa, “Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub”, maksudnya mewarisi kenabian sebagaimana yang telah kami terangkan dalam kitab tafsir114, bagi Allah segala pujian atas limpahan karuniaNya.
Dalam riwayat Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Abu Bakar, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, Kata ‘Nabi’ di sini adalah isim jins yang mencakup seluruh Nabi, dan hadits ini dihasankan oleh at-Tirmidzi,115 dalam hadits lain disebutkan, “Kami para Nabi tidak mewariskan.”
Kedua, Bahwasanya syariat Nabi Muhammad memiliki hukum-hukum tersendiri serta kekhususan yang tidak di miliki para nabi lainnya sebagaimana yang akan kami terangkan secara rinci kelak di akhir sirah beliau insya Allah, jika saja ditentukan bahwa para Nabi sebelumnya mewariskan hartanya kepada para anaknya -dan tidak demikian hakikatnya- maka seluruh yang diriwayatkan para sahabat seperti yang diriwayatkan keempat khalifah -Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali adalah penjelas mengenai kekhususan Rasulullah saw. dalam hal ini yang tidak dimiliki olah para nabi lainnya.
Ketiga, Wajib mengamalkan hadits ini dengan segala konsekwensinya sebagaimana yang diterapkan para khalifah, dan keshahihannya telah diakui oleh para ulama, baik hal ini merupakan kekhususan Nabi ataupun tidak. Sabda beliau, “Kami para Nabi tidak pernah mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” dari sisi lafazhnya memiliki dua makna, bisa bermakna khabar (informasi) tentang hukum yang berlaku bagi diri beliau dan bagi seluruh Nabi sebagaimana yang telah diterangkan. Itulah makna zhahirnya.
Dan bisa pula bermakna insya’ yaitu berupa wasiat beliau, seolah-olah beliau berkata, “Kami tidak meninggalkan warisan, sebab semua yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Maka seolah-olah beliau mengkhususkan seluruh harta yang beliau tinggalkan menjadi sedekah. Namun makna pertama lebih dekat, dan inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama. Walaupun makna yang kedua dapat juga diperkuat dengan hadits
Malik dan Iain-lain dari Abu Zinad dari al-A’raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Harta warisanku tidak dibagi-bagikan walaupun hanya satu dinar. Apa yang aku tinggalkan setelah nafkah istri-istriku dan gaji para pekerjaku adalah sedekah.” Lafazh ini dikeluarkan dalam kitab Shahihain116 sekaligus bantahan terhadap penyelewengan orang-orang bodoh dari kelompok Syiah tentang lafaz, “ma
tarakna sadaqoh” yang mereka barisi menjadi nasab ”sadaqoh” dengan menjadikan ”maa” sebagai maa nafiyah (bermakna penafian). Namun mereka tidak bisa mengakal-akali ungkapan Nabi saw. (kami tidak mewariskan), ditambah lagi dengan lafazh hadits yang kita sebutkan ini, Apa yang kutinggalkan setelah nafkah istri-istriku dan gaji para pegawaiku adalah sedekah.” Penyelewengan lafazh ini persis sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Mu’tazilah bahwasanya salah seorang dari mereka membaca al-Qur’an di hadapan seorang syaikh dari kalangan Ahlus Sunnah,
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa\164). Tetapi dengan menashabkan Lafzhul Jalalah, maka syaikh tadi berkata keradanya, “Celakalah dirimu, bagaimana engkau membaca ayat dari firman Allah yang berbunyi,
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya).” (Al-A’raf: 143).
Kesimpulannya wajib mengamalkan sabda Nabi, ”Kami tidak mewariskan, dan apapun yang kami tinggalkan hakikatnya adalah sedekah.”
Bagaimanapun juga, lafazh dan maknanya tidak dapat dirubah. Oleh karena itu hadits ini mengkhususkan keumuman ayat al-Qur’an tentang pembagian harta warisan, yaitu kekhususan Nabi yang tidak dibagikan harta warisannya, baik dinyatakan bahwa hukum ini khusus untuk diri beliau ataupun juga berlaku umum bagi seluruh Nabi as.
I. Abu Bakar Minta Maaf Kepada Fathimah RA. Sebelum Wafatnya
Al-Hafizh al-Baihaqi meriwayatkan dari asy-Sya’bi, dia berkata, “Ketika Fathimah sakit Abu Bakar datang menemuinya meminta kepadanya agar diberi izin masuk. Ali berkata padanya, ‘Wahai Fathimah, Abu Bakar datang minta izin agar diizinkan masuk?’ Fathimah bertanya, ‘Apakah engkau ingin agar aku memberikan izin baginya?” Ali berkata, ‘Ya ” Maka Abu Bakar masuk dan berusaha meminta maaf padanya, sambil berkata, ‘Demi Allah tidaklah aku tinggalkan seluruh rumahku, hartaku, keluarga dan kerabatku kecuali hanya mencari ridha Allah, ridha RasulNya dan ridha kalian wahai ahli bait. Abu Bakar masih terus menerus membujuk-nya hingga akhirnya Fathimah rela dan memaafkannya.’117 Sanad hadits ini baik dan kuat. Zhahirnya, Amir as-Sya’bi mendengar-nya langsung dari Ali, ataupun dari orang yang mendengarnya dari Ali ra.
J. ALI BIN ABI THALIB MEMPERBAHARUI BAI’AT ABU BAKAR SETELAH FATHIMAH RA. WAFAT
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i meriwayatkan dari jalur yang berbeda-beda dari az-Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah ra. tentang bai’at Ali terhadap Abu Bakar -setelah wafat Fathimah- sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Bai’at ini terjadi sebagai bai’at penguat perdamaian antara keduanya, sekaligus bai’at kedua, yakni setelah kejadian di Saqifah sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan dishahihkan oleh Muslim bin al-Hajjaj. Jadi, Ali tidak pernah memisahkan diri dari Abu Bakar selama enam bulan pertama itu. la tetap shalat di belakang Abu Bakar dan turut menghadiri majlis permusyawaratannya. Dan ia juga pernah berangkat bersama Abu Bakar ke Dzul Qashshah sebagaimana kelak akan kita sebutkan.
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Abu Bakar mengimami shalat Ashar beberapa malam setelah Rasulullah saw. wafat, kemudian ia keluar dari masjid dan bertemu dengan al-Hasan bin Ali sedang bermain bersama anak-anak, maka Abu Bakar segera menggendongnya sembari berkata, “Sungguh sangat mirip dengan Nabi, tidak mirip dengan Ali.” Sementara Ali tertawa melihatnya.118
Namun ketika terjadi bai’at yang kedua ini. Sebagian orang ada yang menganggap bahwa Ali belum membai’atnya sebelum bai’at kedua ini terjadi, sementara kaedah menyatakan bahwa al-mutsbit (orang yang membawa berita) lebih didahulukan daripada an-nafi (orang yang tidak membawa berita), wallahu a’lam.
Adapun kemarahan Fathimah terhadap Abu Bakar, aku tidak tahu kenapa? Jika dikatakan ia marah karena Abu Bakar telah menahan harta warisan yang ditinggalkan ayahnya, maka bukankah Abu Bakar memiliki alasan yang tepat atas tindakannya itu yang langsung diriwayatkannya dari ayahnya, “Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Sementara Fathimah adalah orang yang tunduk terhadap ketentuan nash syar’i yang tidak ia ketahui sebelumnya. Bahkan hal ini pun tidak diketahui oleh istri-istri Rasulullah saw. sampai kemudian ‘Aisyah ra. mengabarkannya kepada mereka dan mereka sepakat menerimanya. Tidak layak kita anggap Fathimah curiga dengan hadits yang dibawakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra., mustahil hal itu terjadi dengannya. Apalagi hadits ini diterima oleh Umar bin al-Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Abbas bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidullah, az-Zubair bin al-Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abu Hurairah, ‘Aisyah ra. RA. Walaupun hanya Abu Bakar seorang yang meriwayatkan hadits itu, wajib bagi seluruh kaum muslimin di atas muka bumi ini menerima dan mematuhinya. Jika kemarahan Fathimah disebabkan tuntutannya agar Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menyerahkan pengelolaan tanah yang dianggap sedekah dan bukan warisannya itu kepada Ali, maka abu Bakar juga memiliki alasan tersendiri bahwa sebagai pengganti Rasulullah saw. maka wajib baginya mengurus apa-apa yang diurus oleh Rasulullah saw. sebelumnya dan menangani seluruh yang ditangani oleh Rasulullah saw.. Oleh karena itulah ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan meninggalkan suatu perkara yang dilakukan oleh Rasulullah saw. semasa hidup beliau kecuali akan aku lakukan pula!” Oleh karena itulah Fathimah memboikotnya dan tidak berbicara dengannya hingga ia wafat.
Pemboikotan ini membuka pintu kerusakan yang besar bagi kelompok Syi’ah Rafidhah dan kejahilan yang panjang. Karena itu pula mereka banyak membuat permasalahan yang tidak berkesudahan. Andai saja mereka menge-tahui perkara yang sebenarnya pastilah mereka akan mengakui keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dan menerima alasannya. Namun mereka tetap saja menjadi kelompok yang hina dan kotor, selalu berpegang kepada perkara mutasyabih (yang masih samar-samar) dan meninggalkan perkara perkara yang sudah muhkam (sudah jelas) yang disepakati oleh para ulama Islam baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in dan para ulama dari generasi setelah mereka di setiap zaman dan tempat.
94 terdapat dalam naskah asli 5/248 adalah keliru dalam memberikan nama, dan perbaikan ini datang dari Sunan al-
Baihaqi.
95 Al-Hafizhh Ibnu Hajar menyebutkan kisah ¡ni dengan maknanya sebab dia semoga Allah merahmatinya menulis kisah ini dari hafalannya
96 As-Sunan al-Kubra 8/ 143 kitab Qital Ahlu al-Baghyi, bab al-Aimmah min Quraisy. Dan lihat juga Taríkh Dimasyq
9/ 669. Redaksl yang terdapat pada Ibnu Katsir 5/249 beglni, “Hadits ini sama dengan satu ekor unta bahkan senilai
badrah.” Dan perbaíkannya datang dari riwayat dalam Sunan al-Ba¡haqi. ‘.
97 Dalam naskah asli al-Mundziri‘dan jelas ini adalah keliru
98 Argumen-argumen ini disebutkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitabnya Dalail an-Nubuwwah, 7/ 221-230
99 Shahih al-Bukhari, kitab al-Ahkam, bab al-Istikhlaf13/205 dari FathulBari, dan Muslim, kitab al-Imarat, bab al-lstikhlaf
wa
Tarkuhu 3/1445.
100 Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah 7/ 223
101 Dalam naskah asli tertulis as-SaJsaj dan koreksi ini diambil dari Musnad Ahmad 2/ 358 no. 1255 Ahmad Syakir berkata,
“Rlwayat Ini mursal.” Namun beliau menyebutkan jalan-jalan lain yang shahih sebagai pengkuat dalam Musnad no. 1107,
1206, 1258.
102 Sirrah Nubuwwah 7/223, dan Uqbah berkata, syahld (penguat hadits) dari Ali kemudian dia menyebutkan hadits datang
dengan sanadnya
103 Hisyam 2/654
104 Telah disebutkan takhrijnya pada halaman terdahulu.
105 Shahih al-Bukhari, kitab al-Wasaya 5/ 356 dari FathulBan, dan Muslim, kitab al-Wasiyah hadits no. 1637
106 Ini adalah riwayat Muslim, dan dalam Shahih al-Bukhari disebutkan “Dari ‘Ir ke sini.” Sebagian orang bertanya-tanya
mengenai pe-nyebutan Tsaur, sebab Tsaur berada di Makkah, Abu Ubaid berkata, kita mellhat bahwa asal hadits yaitu” apa
yang terdapat antara ‘Ir sampai ke gunug Uhud, namun sebagian ulama menyebutkan bahwa kata Tsaur yang terdapat dalam hadits ¡ni nama sebuah gunung kecil yang dlkenal yang terletak di balik gunung Uhud dari arah utara. (sllahkan llhat Fathul Bari 4/82-83).
107 Al-Bukhari, kitab al-Jizyah wal muwada’ah bab zimrnah al-muslimin 6/ 273 dari Fathul Ban, dan Shahih Muslim kitab
Hadits no 1370, Abu Dawud dalam al-Manasik2/216, dan Musnad Ahmad , Ahmad Syakir berkata, “Isnadnya Shahih
108 Al-Hafizh al-Baihaqi mengisyaratkan sebagiannya dalam kitab Dalail an-Nubuwwah 7/229 dan berkata, “Ini adalah
hadits palsu dan bersumber dari riwayat Hammad bin Amru an-Nushabi, dan dia selalu memalsukan hadits.”
109 Al-Bukhari, kitab al-Faraidh 12/ 5 bersama FathulBarí, dan Fadak adalah sebuah kampung di samping Khaibar yang
diberikan Allah kepada Rasulnya tanpa berperang, Mu’jam al-Buldan4/238
110 a!-Bukhari, kitab al-Maghazi, bab Ghazwatu Kha/bar7/493 dari Fathul Ban
111 Pengarang mnyebutkan secar lengkap mengenai masalah ini ketika dia berbicara mengenai Nabi Zakaria i’SP.
112 Tafsir Al-Qur’an Al-azhim, 6/ 192.
113 naskah aslinya, “Diriwayatkan oleh al-Bukhari,’tetapi aku tidak mendapatinya dalam kltab al-Bukhar¡ dan tidak pemah
menyebutkannya dalam Tuhfatul AsyrafkecuaW datang dari riwayat Muslim dan Ibnu Majan 10/ 386. dan menyebutkan
hadits ini ketika berbicara mengenai sejarah nabi Zakaria dalam kitabnya al-Bidayah wan nihayah dia menyebutkan hadits
ini dari jalan Imam Ahmad kemudian berkata, “Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahih Muslim4/1847 dengan no.
2379.
114 Tafsir al-Quran al-Azhim 5/207
115 Sunan at-Tirmidzi, kitab as-siyar, bab MaJa’a fi Tarikati Rasulillah, no. 1608 (4/157).
116 Bukhari, kitab al-Faraidh, bab Qaul an-Nabi, La Nurats Ma Taraknahu Shadaqah. \2/6 dari Fathul Barí, dan
Muslim, kitab al-Jihadwa as-Siyar, bab Qaul an-Nabi, La Nurats Ma Taraknahu Shadaqah. 3/1382 hadits no. 1760
117 Dala’il an-Nubuwwah, 7/ 281.
118 Shahih al-Bukhari, kitab al-Manaqib, hadits no. 3750.
1 komentar: